Aluk
Sanda Saratu’. Kejadian penting
selanjutnya dalam sejarah Toraja ialah datangnya kelompok yang disebut Tomanurun (to=orang; manurun=turun)
di sekitar bagian akhir abad ke-13 Masehi. Terdapat kepercayaan dikalangan
masyarakat bahwa Tomanurun itu datang
dari langit, sebuah kisah mitologis yang ada tidak saja dikalangan orang Toraja
tetapi juga dikalangan kelompok etnis lainnya di Sulawesi Selatan. Di antara
para Tomanurun ada tiga yang paling
terkenal, yaitu Tomanurun Tamboro
Langi’ ri Kandora, Tomanurun di Langi’ Puang ri
Kesu’, dan Tomanurun Mambio Langi’ ri Kaero. Ketiganya menetap di “Padang Dipuangi", wilayah bagian Tengah,
dan karena itu mereka digelar Puang.
(Dikutip dalam buku L.T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya, 1980, halaman 43)
Dengan cepat para Tomanurun itu memperoleh pengaruh besar
di masyarakat karena mereka memiliki kelebihan dalam banyak hal. Tersebar
cerita bahwa mereka telah diutus dari langit oleh Puang Matua dengan tugas melaksanakan pembaharuan keagamaan. Sebab
di mata Puang Matua, aluk waktu itu
tidak lagi sebagaimana adanya pada permulaan. Tokoh paling terkemuka di antara
para Tomanurun itu ialah Tamboro
Langi’. Dialah yang dikenal sebagai pendiri apa yang disebut Aluk Sanda Saratu' (= Aluk Lengkap
Seratus).
Di sini lagi, sebagaimana halnya dengan nama Aluk Sanda Pitunna, kita menjumpai simbol-simbol angka. Ajaran
pokok Aluk Sanda Saratu’ ialah bahwa
setiap bentuk kesatuan yang ada dalam kosmos
itu tersusun bertingkat-tingkat. Demikian pulalah halnya dengan masyarakat
manusia. Demikianlah, secara simbolis, angka 1-9 menampilkan rakyat kebanyakan,
dimana angka 9 menandakan orang biasa yang sempurna. Selanjutnya angka puluhan
antara 10 dan 90 menandakan tingkat-tingkat pemimpin dalam masyarakat,
sementara angka 100 (saratu’)
menyimbolkan penguasa tertinggi duniawi, yaitu raja; dan akhirnya angka 1000
adalah untuk Ada Tertinggi, Puang Matua.
Sedemikian itu, dari
namanya mudah diterka bahwa ajaran baru ini menekankan tata duniawi, organisasi
masyarakat. Dalam Aluk Sanda Pitunna
tekanan diletakkan khususnya pada hubungan antara makhluk (terutama manusia)
dan kenyataan ilahi (Puang Matua dan
dewa/i), dimana hidup ritual begitu diperhatikan. Dalam kenyataan, ajaran dasar
Aluk Sanda Pitunna, “yang sudah
tertanam dalam di hati rakyat”, tetap diterima dalam Aluk Sanda Saratu’. Dan dengan demikian Aluk Sanda Saratu’ sering juga disebut Aluk Sanda Karua (Ajaran lengkap delapan).
Dengan kedatangan para Tomanurun, khususnya lewat penyebaran Aluk Sanda Saratu’, mulailah berlaku sistem monarki, dan status
sosial yang ditandai dengan tiga tingkatan status dalam masyarakat, yaitu
golongan Puang (terdiri dari para Tomanurun dan keturunannya), tomakaka (penduduk yang sudah ada
sebelumnya) dan kaunan (para hamba,
yang dikatakan datang menyertai para Tomanurun, serta keturunannya). Masa ini dalam sejarah
Toraja disebut “masa aristokratis”
oleh Puang Paliwan Tandilangi’. Kepemimpinan tertinggi dalam masyarakat diambil
alih oleh para Tomanurun dan
keturunannya, sementara para Kepala Adat yang lama (dikalangan para tomakaka) turun ke tingkatan lebih
rendah (bua’ ke bawah), di mana pada
kenyataannya semangat kekeluargaan dan sistem Aluk Sanda Pitunna tetap hidup di kalangan masyarakat.
Apa yang baru dikatakan
di atas berlangsung di bagian selatan Padang
Dipuangi (Tallu Lembangna dan Balusu di Utara). Di bagian utara berlangsung
perkembangan yang berbeda. Agaknya bagian Utara berupaya tetap mempertahankan Aluk Sanda Pitunna secara murni. Oleh
karena itu dapat dipahami kalau kemudian pusat Aluk Sanda Pitunna pindah dari Banua
Puan di Marinding ke Kesu’, yang selanjutnya dikenal sebagai Panta’nakan Lolo (tempat penyemaian,
artinya tempat di mana orang-orang muda dibina untuk menjadi pemimpin, atau
juga biasa disebut pucuk kepemimpinan), sebagaimana
sudah disinggung di atas.
Bagian ke-1: Kisah Penciptaan Menurut Aluk Todolo
Bagian ke-2: Aluk Sanda Pitunna


No comments:
Post a Comment