Wednesday, March 27, 2019

Mengenal Klasis Parandangan Sebagai Tuan Rumah KamNas Remaja II SMGT


Klasis Parandangan adalah salah satu Klasis yang berada dalam lingkup pelayanan BPS Wilayah II Rantepao. Klasis Parandangan terdiri dari 20 Jemaat, 7 Cabang Kebaktian dan 1 Tempat Kebaktian sebagai berikut:
1. Jemaat Parandangan,
2. Jemaat Rantepasang,
3. Jemaat Buntu Minanga;
    a. CK. Elim Batubusa,
4. Jemaat Lengkong,
5. Jemaat Pulu’-Pulu’,
6. Jemaat Pulio,
7. Jemaat Sapan,
8. Jemaat Buntu Dassi,
9. Jemaat Kalo’;
    a. TK. Talimbangan,
10. Jemaat Roroan;
    a. CK. Rambo,
    b. CK. Balombong,
    c. CK To’ Paku,
11. Jemaat Matande,
12. Jemaat Uma,
    a. CK. Tombang Bai)
13. Jemaat Paranggai,
14. Jemaat Buntu Ledo,
15. Jemaat Sarambu,
16. Jemaat Limbong Uma;
     a. CK Salu Limbong,
     b. CK Salu Balla,
17. Jemaat Pengkaroan Manuk,
18. Jemaat Moria Tamana,
19. Jemaat Rante Sangpapa’, dan
20. Jemaat Buntu Lepong.


Klasis Parandangan tersebar di Kecamatan Buntu Pepasan Kabupaten Toraja Utara. Kecamatan Buntu Pepasan terdiri dari 1 Kelurahan dan 12 Lembang/Desa, yaitu: Lembang Parandangan, Lembang Buntu Minanga, Lembang Sarambu, Lembang Rante Uma, Lembang Pulu’-Pulu’, Lembang Pengkaroan Manuk, Lembang Batu Busa, Lembang Roroan Barra’-Barra’, Lembang Pangkung Batu, Lembang Ponglu, Lembang Paoranan dan Lembang Talimbangan. Luas Buntu Pepasan sekitar 131,72 Km2, Tipografi daerah ini berbukit dengan ketinggian kurang lebih 1.400-2200 DPL.


Jarak yang ditempuh dari ujung ke ujung Jemaat di wilayah Klasis Parandangan kurang lebih sekitar 4 Jam Perjalanan menggunakan roda dua (Jemaat Pulu’-Pulu’/Sarambu ke Jemaat Roroan) karena jarak yang jauh dan medan jalan yang sebagian masih rusak. Jemaat Parandangan adalah lokasi pelaksanaan Kamp Nasional Remaja II SMGT. Jarak Jemaat Parandangan dari Rantepao sekitar 19 Km (Google Maps: BPS ke Parandangan lewat Tikala, lewat Pangli 24 Km) yang dapat ditempuh selama kurang lebih 1 Jam perjalanan dengan kendaraan roda dua.


Mari kita dukung dalam doa Pelaksanaan KampNas Remaja II SMGT, semoga boleh terlasana dengan baik dan lancar. Selamat mempersiapkan diri untuk peserta. Tuhan Memberkati.


(Salama’: Prop. Christian Banna, S.Th)

Thursday, November 29, 2018

Mitologi Toraja: Liquifaksi Ulah Londong di Rura

Di sebuah tempat di Toraja konon ada daerah bernama Rura yang sangat subur. Karena kesuburannya sehingga hasil bumi sangat melimpah sehingga penduduk di sana tidak pernah kekurangan makanan dan banyak yang menjadi kaya dan sejahtera. Kekayaan membuat mereka tidak takut kepada siapapun. Mereka bebas melakukan apapun yang diinginkan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam adat mereka.

Ada sepasang suami istri yang sangat kaya raya di Rura. Namanya Londong di Rura dan istrinya bernama Kombong di Rura yang memiliki dua orang anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Setelah kedua anak mereka sudah dewasa orang tua mereka sepakat untuk menikahkan kedua anak mereka karena tidak ingin kekayaan mereka jatuh kepada orang lain.

Pada waktu berikutnya diadakanlah pesta pernikahan sedarah yang sangat besar dan mewah. Seluruh penduduk juga sepakat bahwa pernikahan ini dapat menjadi contoh karena kekayaan tidak akan jatuh ke tangan orang lain jika dilakukan upacara pernikahan seperti ini dan dilaksanakanlah upacara "La'pa' Kasalle" (sebuah ritus keagamaan) dan semua hadirin masuk ke lapangan.

Ketikan mereka sedang melakukan ritus ini, tanah tempat mereka melakukan pesta pernikahan ini menjadi ambruk dan tenggelam (Liquifaksi?) semua orang yang hadir turut tenggelam, rumah, makanan, semua benda yang ada diatasnya tenggelam. Kemudian datanglah air dan memenuhi tempat itu sehingga terlihat seperti danau.

Banyak orang yang juga menyaksikan kejadian itu dan membuat mereka sangat ketakutan. Maka pemuka adat dan orang yang ada di Rura berkumpul dan menelusuri apa yang menjadi penyebab bencana ini terjadi. Namun mereka tidak menemukan jawaban atas peristiwa yang terjadi itu. Akhirnya merekapun bertanya kepada Suloara' dan Buauran di kampung Sesean. Mereka adalah toko adat yang sangat terkenal pada saat itu. Dikirimlah utusan untuk bertemu dengan kedua orang ini supaya datang melihat dan mengungkapkan penyebab terjadinya bencana itu.

Setelah Suloara' dan Buauran tiba di Rura, mereka kemudian menyelidiki apa yang terjadi. Mereka menemukan penyebab bencana itu dan berkata:"Pemali, pemali tongan ia tu umpasule langngan banua to massiulu', umpasibali to misa' dikombong" (Pamali/Pantang untuk menikahkan orang yang bersaudara yang masih sedarah sedaging).

Mereka pun sadar bahwa ini karena ulah Londong di Rura yang menikahkan kedua anak kandungnya. Maka diadakanlah upacara adat untuk memulihkan keadaan di Rura. Keadaan di Rurapun kembali menjadi baik kembali karena nasehat dari Suloara' dan Buauran dari Sesean.

Inilah yang menjadi cerita turun temurun di Toraja sehingga jika akan digelar pernikahan, dalam pertemuan keluarga akan di tanyakan hubungan keluarga (silsilah)...

Wednesday, August 15, 2018

Warga Masyarakat Pulu’-Pulu’ akan Menikmati Layanan PLN

Lembang Pulu’-Pulu’ adalah sebuah daerah di Kecamatan Buntu Pepasan Kabupaten Toraja Utara. Lembang ini terletak paling unjung di Toraja Utara berbatasan dengan Sulawesi Barat.

Masyarakat di Lembang Pulu’-Pulu’ selama ini telah menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Air dengan Turbin. Menurut masyarakat setempat, Turbin ini kurang lebih sudah 10 tahun beroperasi yang merupakan swadaya masyarakat setempat.

Turbin ini biasanya mulai menyala pada sekitar pukul 17.30 sampai 07.30 wita pada hari senin sampai jumat, hari sabtu mulai menyala pada pukul 15.00 dan pada hari minggu menyala sepanjang hari.


Pemasangan dan pengangkutan tiang masih sementara disepanjang jalan poros Sapan-Pulu’-pulu’. Besar harapan masyarakat bahwa pengerjaan pemasangan tiang dan instalasi listrik secepatnya di pasang ke rumah-rumah mereka.

Monday, July 16, 2018

Budayawan Ishak Ngeljaratan yang Sangat Kagum dengan Budaya Orang Toraja Tutup Usia

Seorang budayawan, dosen dan juga seorang yang memiliki pemikiran filsafat yang luar bisa, Drs. Ishak Ngeljaratan, M.A (82) tutup usia hari Senin (16/7/2018). Bukan hanya itu dia juga memiliki jiwa toleransi yang tinggi dan itu yang ditularkan kepada mahasiswa ketika Beliau memberikan kuliah.

Beliau adalah salahsatu dosen tidak tetap di Kampus Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur Makassar (STT INTIM Makassar). Dosen yang memberikan kuliah Filsafat dan mata kuliah lainnya. Beliau juga adalah sosok yang  sangat mengagumi budaya Orang Toraja. 

Dalam kuliah yang pernah saya ikuti, sempat dia mengatakan bahwa "Ada perasaan tersendiri yang saya rasakan ketika saya masuk ke Toraja, dengan melihat rumah Adat Toraja yang berdekatan dengan sawah". Dia juga sempat menjelaskan kepada kami tentang makna kata "Manasu mo raka?", yang adalah ungkapan sapaan orang Toraja saat berjumpa seseorang di rumahnya dan bisanya direspon dengan "Manasumo, ta lendu'opa".

Dia menggali makna ungkapan ini dengan mengatakan bahwa ungkapan ini berhubungan dengan tallu lolona atau tiga pucuk kehidupan (manusia, hewan dan tumbuhan). "Sudah masakkah?" itu arti harafiah dari "manasumo raka?", dalam penjelasannya bahwa ini bukan soal makanan tetapi adalah ungkapan syukur dari orang Toraja yang menyatu dengan alam. Tanah adalah sumber kehidupan, orang Toraja menanam padi dan memperlakukan padi sebagai saudaranya, juga memelihara hewan dengan penuh kasih sayang sehingga berkat itu tersedia. Ungkapan ini adalah wujud sukacita atas kesuburan tanah di Toraja. Dan masih banyak lagi yang dikatakan tentang budaya orang Toraja.

Menurut beberapa media online, budayawan ini tutup usia setelah sempat dirawat di RS Stella Maris, Makassar. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka kompleks perumahan Dosen Unhas Tamalanrea.

"Rest In Peace"... Pemikiran, kesederhanaan dan sikap toleransi akan kami warisi dan kenang. Semoga segenap keluarga diberikan kekuatan iman dan penghiburan dari Tuhan sang pemilik kehidupan ini...

(Christian Banna)

Friday, June 22, 2018

Lantang Pangngan: Prosesi Unik Rambu Solo’ Toraja


Toraja adalah suku yang terkenal dengan kebudayaannya. Orang Toraja tidak dapat dipisahkan dari “ketorajaannya”. Tuntutan kebudayaan dalam masyarakat Toraja masih sangat kental dan mempengaruhi seluruh proses kehidupan masyarakatnya, oleh karena masyarakat Toraja tidak dapat dipisahkan dari “ketorajaannya”.

Salah satu prosesi yang sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Toraja adalah Aluk rambu solo’. Aluk rambu solo’ berasal dari kata aluk artinya aturan/agama, rambu artinya asap/cahaya sinar, dan solo’ artinya turun, atau biasa disebut aluk rampe matampu’ (aluk sebelah/bagian Barat) adalah upacara yang dilakukan pada sebelah Barat dari rumah atau Tongkonan dengan kurban persembahan yang pelaksanaannya waktu matahari mulai terbenam atau dengan kata lain upacara kematian atau pemakaman manusia.

Tidak seperti biasanya, ada tradisi rambu solo’ yang unik di Bokko, Lembang Tumbang Datu, Kecamatan Sangalla’ Utara, Kabupaten Tana Toraja. Tradisi tersebut yaitu Lantang Pangngan. Lantang pangngan adalah sebuah miniatur rumah atau tongkonan (rumah adat toraja) yang dihiasi oleh berbagai hiasan, lampu hias dan lilin/obor yang diusung oleh beberapa orang. Tidak sembarang orang dibuatkan lantang pangngan, hanya yang mate malolle’ (meninggal pada usia muda) yang dibuatkan lantang pangngan. Lantang pangngan adalah ungkapan duka dari rumpun keluarga yang lain kepada keluarga yang sedang berduka.

Prosesi ini tidak seperti biasanya di upacara rambu solo’, hal ini dilakukan pada malam hari sekitar pukul 18.00-selesai (tergantung jumlah lantang pangngan). Dalam prosesi ini, keluarga yang membawa lantang pangngan akan melantunkan ungkapan duka, disertai dengan iringan keluarga yang membawa piong, makanan, minuman dan sebagainya. Juga disertai dengan bunyi-bunyian seperti kembang api.

Bukan hanya di daerah Bokko yang melakukan tradisi lantang pangngan ini, daerah lain seperti Tallung Penanian, Randan Batu sekitarnya dan La'bo'? juga melakukan tradisi ini…

(Penulis: Ch_Banna)

Friday, February 2, 2018

Sejarah Nama Toraja dan Motto: "Misa' Kada Dipotuo, Pantan Kada Dipomate"

Pendapat orang dari luar Toraja:
Beberapa pendapat mengenai asal kata Toraja yaitu berasal dari istilah yang diberikan oleh orang Bugis Sidenreng (Kerajaan Sidenreng), yaitu Toriaja. To artinya orang, Riaja artinya sebelah atas atau bagian Utara yang artinya orang yang berasal dari ketinggian di Utara. Pendapat dari orang Bugis Luwu (Kerajaan Luwu), yaitu To Riajang. To artinya orang, Riajang artinya sebelah Barat Kerajaan Luwu, jadi To Riajang adalah orang yang berasal dari daerah sebelah Barat.

Di samping itu ada juga mitos yang hidup dikalangan orang Toraja sendiri tentang mitos “Lakipadada” yang terdapat di Kerajaan Gowa. Orang setempat di Gowa memberi sebutan kepada Lakipadada itu dengan nama Tau Raya (dalam bahasa Makassar, tau=orang, raya=timur). Sehingga menamakan pula tempat asalnya sebagai orang Tana Tau Raya oleh orang Gowa, Toraya kemudian menjadi Tana Toraja yang dikenal sekarang ini.

Pendapat orang Toraja:
Sebelum kata Toraya atau Toraja dipergunakan untuk daerah yang sekarang dinamakan Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, sebenarnya dulu adalah suatu negeri yang berdiri sendiri dan dinamakan “To untongkonni lili’na lepongan bulan gontingna matari’ allo”, artinya orang yang mendiami wilayah yang bulat dalam cakupan bulan dan matahari, atau “To basse lepongan bulan matari’ allo”, artinya orang yang berikrar sebagai satu persatuan dalam satu wilayah yang bulat yang dilingkupi bulan dan matahari.

Pendapat lain menamakan Tondok lepongan bulan tana matari’ allo yang artinya negeri yang membentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat/bundar bagaikan bentuk bulan dan matahari.
(Ukiran Pa' Bareallo)
Adanya nama Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo tersebut bersumber dari terbentuknya negeri itu dalam suatu kebulatan/kesatuan tata masyarakat yang berdasarkan:
  • Persekutuan dan kesatuan berdasarkan satu agama/kepercayaan yaitu Aluk To Dolo, dengan suatu aturan yang bersumber dari satu sumber yaitu di negeri Marinding Banua Puan yang dikenal dengan Aluk Sanda Pituna (aturan/agama 7777) atau Aluk pitung sa’bu pitung ratu’ pitung pulo pitu (aturan tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh).
  • Terbentuknya negeri tersebut berasal dari beberapa daerah adat dan budaya atau beberapa wilayah Adat, dengan satu sumber yang memancar bagaikan sinar bulan dan matahari.

Toraja terkenal dengan mottonya atau “Basse dipamatua langi’ panda dipamatua tana” (bersumpah atas nama langi’ dan bersumpah atas nama bumi) yaitu: Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate, rokko komi tang maratoi bombang, diongmi tang tu’pe daunna” (Rokko komi tang maratoi bombang, diongmi tang tu’pe daunna artinya ikut berpartisipasi tidak akan tersentuh gelombang keras, turun bersama tidak akan membuat celaka), yang terkenal sampai saat ini adalah “Misa’ kada dipotuo pantan kada dipomate” yang artinya sama dengan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

Motto ini muncul ketika Perang antara Suku Bugis (Bone) dan Suku Toraja untuk mencegah Raja Bone menguasai wilayah Toraja yang diceritakan dalam suatu kisah kepahlawanan orang Toraja yang disebut To Pada Tindo (orang yang bermimpi yang sama) “Untulak buntunna Bone, unnula’ To sendana bonga(menentang pengaruh dan kekuasaan Bone).

To pada tindo ini berjumlah 122 orang yang berasal dari berbagai daerah di wilayah adat Toraja, dan yang diwakili oleh Ketua Adat dalam setiap Tongkonan. (Kata Tongkonan  berasal dari kata ‘Tongkon’ yang artinya duduk, mendapat akhiran ‘an’ maka ‘Tongkonan’ adalah ‘tempat duduk’, juga berarti tempat yaitu rumah adat Toraja atau Rumah rumpun keluarga).

Sumber buku referensi tulisan di atas:
Aziz Said, Abdul. Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Tangdilintin, L. T. Toraja dan Kebudayaannya, Tana Toraja: Yayasan Lepogan Bulan (YALBU), 1981.

Sarira, Y.A (dianalisis). Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen Tentang Rambu Solo’, Rantepao: Pusbang Gereja Toraja, 1996.

Kurre Sumanga', Puang Matua umpassakke ki' massola nasang, 
Salama'...

Thursday, February 1, 2018

Mitologi Orang Toraja Bagian 3: Aluk Sanda Saratu'

Aluk Sanda Saratu’. Kejadian penting selanjutnya dalam sejarah Toraja ialah datangnya kelompok yang disebut Tomanurun (to=orang; manurun=turun) di sekitar bagian akhir abad ke-13 Masehi. Terdapat kepercayaan dikalangan masyarakat bahwa Tomanurun itu datang dari langit, sebuah kisah mitologis yang ada tidak saja dikalangan orang Toraja tetapi juga dikalangan kelompok etnis lainnya di Sulawesi Selatan. Di antara para Tomanurun ada tiga yang paling terkenal, yaitu Tomanurun Tamboro Langi’ ri Kandora, Tomanurun di Langi’ Puang ri Kesu’, dan Tomanurun Mambio Langi’ ri Kaero. Ketiganya menetap di “Padang Dipuangi", wilayah bagian Tengah, dan karena itu mereka digelar Puang.

(Dikutip dalam buku L.T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya, 1980, halaman 43)

Dengan cepat para Tomanurun itu memperoleh pengaruh besar di masyarakat karena mereka memiliki kelebihan dalam banyak hal. Tersebar cerita bahwa mereka telah diutus dari langit oleh Puang Matua dengan tugas melaksanakan pembaharuan keagamaan. Sebab di mata Puang Matua, aluk waktu itu tidak lagi sebagaimana adanya pada permulaan. Tokoh paling terkemuka di antara para Tomanurun  itu ialah Tamboro Langi’. Dialah yang dikenal sebagai pendiri apa yang disebut Aluk Sanda Saratu' (= Aluk Lengkap Seratus). 

Di sini lagi, sebagaimana halnya dengan nama Aluk Sanda Pitunna, kita menjumpai simbol-simbol angka. Ajaran pokok Aluk Sanda Saratu’ ialah bahwa setiap bentuk kesatuan yang ada dalam kosmos itu tersusun bertingkat-tingkat. Demikian pulalah halnya dengan masyarakat manusia. Demikianlah, secara simbolis, angka 1-9 menampilkan rakyat kebanyakan, dimana angka 9 menandakan orang biasa yang sempurna. Selanjutnya angka puluhan antara 10 dan 90 menandakan tingkat-tingkat pemimpin dalam masyarakat, sementara angka 100 (saratu’) menyimbolkan penguasa tertinggi duniawi, yaitu raja; dan akhirnya angka 1000 adalah untuk Ada Tertinggi, Puang Matua.

Sedemikian itu, dari namanya mudah diterka bahwa ajaran baru ini menekankan tata duniawi, organisasi masyarakat. Dalam Aluk Sanda Pitunna tekanan diletakkan khususnya pada hubungan antara makhluk (terutama manusia) dan kenyataan ilahi (Puang Matua dan dewa/i), dimana hidup ritual begitu diperhatikan. Dalam kenyataan, ajaran dasar Aluk Sanda Pitunna, “yang sudah tertanam dalam di hati rakyat”, tetap diterima dalam Aluk Sanda Saratu’. Dan dengan demikian Aluk Sanda Saratu’ sering juga disebut Aluk Sanda Karua (Ajaran lengkap delapan). 

Dengan kedatangan para Tomanurun, khususnya lewat penyebaran Aluk Sanda Saratu’, mulailah berlaku sistem monarki, dan status sosial yang ditandai dengan tiga tingkatan status dalam masyarakat, yaitu golongan Puang (terdiri dari para Tomanurun dan keturunannya), tomakaka (penduduk yang sudah ada sebelumnya) dan kaunan (para hamba, yang dikatakan datang menyertai para Tomanurun,  serta keturunannya). Masa ini dalam sejarah Toraja disebut “masa aristokratis” oleh Puang Paliwan Tandilangi’. Kepemimpinan tertinggi dalam masyarakat diambil alih oleh para Tomanurun dan keturunannya, sementara para Kepala Adat yang lama (dikalangan para tomakaka) turun ke tingkatan lebih rendah (bua’ ke bawah), di mana pada kenyataannya semangat kekeluargaan dan sistem Aluk Sanda Pitunna tetap hidup di kalangan masyarakat.

Apa yang baru dikatakan di atas berlangsung di bagian selatan Padang Dipuangi (Tallu Lembangna dan Balusu di Utara). Di bagian utara berlangsung perkembangan yang berbeda. Agaknya bagian Utara berupaya tetap mempertahankan Aluk Sanda Pitunna secara murni. Oleh karena itu dapat dipahami kalau kemudian pusat Aluk Sanda Pitunna pindah dari Banua Puan di Marinding ke Kesu’, yang selanjutnya dikenal sebagai Panta’nakan Lolo (tempat penyemaian, artinya tempat di mana orang-orang muda dibina untuk menjadi pemimpin, atau juga biasa disebut pucuk kepemimpinan), sebagaimana sudah disinggung di atas. 

Bagian ke-2: Aluk Sanda Pitunna 

Mengenal Klasis Parandangan Sebagai Tuan Rumah KamNas Remaja II SMGT

Klasis Parandangan adalah salah satu Klasis yang berada dalam lingkup pelayanan BPS Wilayah II Rantepao. Klasis Parandangan terdiri da...